Saat menyebut Masjid Agung Palembang, Anda mungkin langsung teringat dengan ikon kota yang terkenal dengan kuliner pempeknya ini. Tak hanya sebagai ikon, Masjid Agung Palembang juga memiliki sisi sejarah yang menarik untuk dikulik.
Pembangunan masjid ini sendiri telah dilakukan berabad-abad yang lalu, tepatnya pada 1738 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I atau yang dikenal dengan Jaya Wikramo. Butuh waktu 10 tahun hingga akhirnya masjid ini resmi digunakan pada 26 Mei 1748.
Awalnya, masjid ini diberi nama Masjid Sultan dan memiliki ukuran 30 x 36 meter persegi. Saat pertama dibangun pun, masjid ini belum memiliki menara hingga akhirnya Sultan Ahmad Najamuddin membangun menara di Masjid Agung Palembang pada masa pemerintahannya. Letak menara berada di sebelah barat dengan bentuk seperti kelenteng.
Konon katanya, Masjid Agung Palembang atau Masjid Sultan dirancang oleh seorang arsitek dari Eropa. Oleh sebab itu, konsep bangunan masjid ini bernuansa Nusantara, Eropa, dan China. Ciri khas arsitektur Nusantara bisa terlihat dari bangunan utama serta atap masjid yang berbentuk limas dan dilengkapi ukiran bunga tropis.
Sementara itu, ciri khas arsitektur China ada pada desain menara yang memiliki atap seperti kelenteng. Terakhir, jendela masjid yang besar dan tinggi memberikan gaya arsitektur ala Eropa. Ditambah lagi, material bangunan seperti marmer dan kaca diimpor langsung dari Eropa.
Pemerintah Kolonial Belanda pun sempat merombak Masjid Agung Palembang. Tepatnya setelah perang besar pada tahun 1819 dan 1821, yang terjadi antara Kesultanan Palembang Vs Belanda. Bentuk Masjid Agung Palembang dulu dan sekarang sudah banyak berubah.
Apalagi setelah dilakukan beberapa perombakan, yakni pada tahun 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, dan masa pemerintahan Gubernur Sumatera Selatan H. Rosihan Arsyad yang menjabat pada 1998-2003.
Salah satu perubahan yang signifikan adalah atap menara masjid yang semula serupa seperti kelenteng digantikan dengan yang ada hingga saat ini.
Tak hanya kental dengan nuansa sejarahnya, masjid ini juga memiliki keunikan arsitektur lainnya. Misalnya saja, Masjid Agung Palembang punya 16 tiang yang terdiri dari empat tiang soko guru dan 12 tiang penopang atap.
Bentuk masjid yang bersegi delapan juga ternyata memiliki filosofi tersendiri. Hal ini melambangkan budaya Melayu dengan delapan ketentuan hukum adat yang disebut Pucuk Carakangan.
Total delapan hukum adat yang terkandung dalam Pucuk Carakangan yang isinya berupa larangan-larangan sebagai berikut; larangan berzina, membakar harta orang lain, membunuh orang lain menggunakan racun, menghabisi nyawa hewan peliharaan, mencuri, merampas harta orang lain, mengancam dan menantang orang lain, serta memanipulasi istri dan anak untuk berbuat hal buruk.
Dengan luas bangunan mencapai 7.512 meter persegi, Masjid Agung Palembang bisa menampung jamaah hingga 15.000 orang. Masjid ini juga diklaim sebagai salah satu masjid terindah di Indonesia.
Akses menuju Masjid Agung Palembang tidaklah sulit dan Anda bisa menemukannya dengan mudah. Apalagi, masjid ini terletak di pusat kota, tepatnya berada di Jalan Jenderal Sudirman No 1, Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Bukit Kecil, Palembang.
Jika sedang berkunjung ke Palembang, tak ada salahnya untuk mengunjungi Masjid Agung Palembang untuk sekadar beribadah atau menikmati keindahannya.
Nah, itu tadi ulasan singkat tentang sejarah Masjid Agung Palembang. Ingin tahu informasi lain seputar masjid atau mungkin Kota Palembang pada umumnya? Anda bisa menemukannya pada artikel lain di laman Indonesia Kaya.